Harga Bawang Merah Akan Alami Perbaikan
Merasuknya sistem liberisasi perekonomian di Indonesia sangat banyak berpengaruh terhadap sektor pertanian. Petani harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk berproduksi. Mulai dari benih yang harus beli dari pihak swasta yang harganya mahal, pupuk juga di pasok tidak hanya oleh BUMN tetapi juga oleh pihak swasta dan pestisida juga harus di beli dengan harga yang mahal.
Hal ini dikatakan Wakil Ketua Komisi VI DPR Heri Gunawan di Jakarta, Senin (25/4). Menurutnya, meski sempat “lesu” pada tahun 2014 karena adanya perlambatan ekonomi global, namun di tahun 2015 harga-harga komoditas seperti bawang merah, kedelai dan Beras ketan, diprediksdi akan mengalami perbaikan karena adanya permintaan yang tingg.
Lonjakan permintaan tersebut, salah satunya dipicu oleh permintaan domestik yang tinggi lebih-lebih menghadapi bulan puasa. Terbukti, memasuki bulan Mei 2015 harga bawang merah, kedelai dan beras ketan, mulai berfluksuasi dan tidak stabil.
Harga bawang merah yang tadinya berada di posisi Rp.29.000, di Brebes sudah menembus angka Rp.38.000-Rp.40,000/kg. Harga Kedelai yang pada bulan Maret masih di angka Rp.8.200/kg, pada bulan Mei sudah menembus Rp.10.900/kg. Harga beras ketan yang tadinya masih Rp.10.000/kg, kini sudah menembus harga Rp.14.000/kg.
Dia mengemukakan bahwa harga-harga tersebut sedang dalam ketidakstabilan yang tinggi. Hal ini terjadi karena pasar sudah terdistorsi oleh masuknya komoditas impor yang merembes ke pasar-pasar tradisional. Celakanya, komoditas impor tersebut masuk secara ilegal, sehingga menjadi “ harga gelap” permainan harga.
Untuk itu, tandasnya, pemerintah harus segera memperhatikan produksi dalam negeri melalui berbagai cara, salah satunya dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang memihak kepada rakyat. Pemerintah (Cq Kementerian Perdagangan) telah kecolongan dalam menjaga stabilitas pasar domestik yang berujung pada fluktuasi harga komoditas bawang merah,kedelai, dan beras ketan di pasaran. Buktinya, banyak komoditas impor “ilegal” yang merembes masuk kepasar-pasar tradisional yang terus mendistorsi harga.
Dikatakan juga, Perum Bulog yang juga ditugaskan untuk menjaga stabilitas harga kedelai dan bawang merah, tidak efektif dalam menjalankan perannya. Hal ini tentu sungguh mengecewakan, mengingat BUMN tersebut telah disuntik dengan PMN Rp.3 triliun dalam rangka menopang tugasnya sebagai stabilisator harga. Untuk menjaga stok beras juga saja terlihat kelimpungan, apalagi komoditas lain, diperkirakan daya serap beras oleh Bulog secara nasional berkisar di bawah 10%.
Pemerintah terlihat tidak siap dalam merespon “perang harga” yang sedang dilakukan oleh negara-negara importir, terutama Tiongkok. Padahal “perang harga” sudah gila-gilaan. Negara-negara impor rela memotong harga komoditasnya hingga 40% dalam rangka mendorong ekspornya.
Mestinya fenomena “perang harga” itu bisa diantisipasi jika pemerintah (Cq. Kementerian perdagangan) untuk lebih sensitif dan intensif melakukan pengawasan dan pengetahuan pasca “perang mata uang” yang telah melumpuhkan rupiah hingga menembus Rp.13.000. Apalagi, perang harga yang terjadi saat ini sudah masuk dalam kategori dumping yang merugikan kepentingan domestik. (spy,mp). Foto: Naefuroji/parle/od